SELAMAT DATANG {Kami Berbagi dari Sejengkal apa yang Kami Miliki} semoga bermarmanfaat Amin...

Minggu, 26 Juni 2011

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

BAB I
I. Perkembangan Kognitif
I.1 Perkembangan Kognitif Menurut teori Piaget
Masa remaja adalah suatu periode kehidupan di mana kepastian untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan secara efisien mencapai puncaknya. Karena selama periode remaja ini, proses perumbuhan otak memcapai kesempurnaan. Sistem saraf yang berfungsi memproses informasi berkembang dengan cepat. Disamping itu, pada masa remaja ini juga terjadi reorganisasi linkaran syaraf prontal lobe (belahan otak bagian depan sampai pada belahan atau celah sentral). prontal lobe ini berfungsi dalam aktivitas kognitif tingkat tinggi, seperti kemamapuan merumuskan perencanaan strategis atau kemampuan mengambil keputusan.
Perkembangan prontal lobe tersebut sangat berpengaruh terhadap kemampuan kognitif remaja, sehingga mereka mengembangkan kemampuan penalaran yang memberinya suatu tingkat pertimbangan moral dan kesadaran social yang baru. Disamping itu, sebagai anak muda yang memiliki kemampuan memahami pemikiran sendiri dan emikiran orang lain, remaja mulai membayangkan apa yang dipikirkan oleh orang tentang dirinya. Ketika kemampuan kognitif mereka mencapai kematangan, kebanyakan anak remaja mulai memikirkan tentang apa yang diharapkan dan melakukan kritik terhadap masyarakat mereka, ornagtua, bahkan terhadap kekurangan diri mereka sendiri.
Kemudian, dengan kekuatan baru dalam penalaran yang dimilikinya, menjadikan remaja mampu membuat pertimbangan dan melakukan perdebatan sekitar topic-topik abstrak tentang manusia, kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan keadilan. Dan pada masa remaja ini, mereka berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang tuhan dan eksistensi.

Perkembangan Kognitif Menurut Teori Piaget
Ditinjau dari prespektiv teori kognitif piaget, maka pemikiran masa remaja telah mencapai tahap pemikiran operasional formal, yakni suatu tahap perkembangan kognitif yang dimulai pada usia kira-kira 11atau12 tahun dan terus berlanjut sampai remaja mencapai masa tenang atau masa dewasa. Pada tahap ini anak sudah dapat berpikir secara abstrak dan hipotetis. Pada masa ini, anak sudah mampu memikirkan sesuatu yang akan atau mungkin terjadi, sesuatu yang abstrak.
Di sampan itu, pada tahap ini remaja juga sudah mampu berpikir secara sistematik, mampu memikirkan semua kemungkinan secara sistematik untuk memecahkan permasalahan. Biasanya remaja dalam menyimpulakan sebuah masah hanya pada salah satu seebab-akibat, tanpa melihat sebab-sebab lain.
Dalam suatu eksperimen yang dilakukan Piagget dan Inhelder kepada anak dan remaja diberikan 5 tabung yang berisi cairan tanpa warna. 4tabung di beri label 1,2,3,4, serta tabung ke5 diberi label G. kepada anak-anak diminta untuk mengkombinassikan cairan-cairan tersebut sehingga diperoleh cairan yang berwarna kuning. Dalam melakukan tugas ini, maka anak-anak pada tahap pra operasionalakan mengkombinasikannya secara lebih teratur dan mencoba memecahkan persoalan ini melalui trial and error. Mereka mencoba menuangkan cairan dalam tabung lain, dan setelah itu ia menyerah.
Akan tetapi, anak tahap formal operasional mulai mampu memecahkan masalah dengan membuat perencanaan kegiatan terlebih dahulu dan berusaha mengantisipasi berbagai macam informasi yang akan diperlukannya untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh karena itu, mereka mencoba semua kemungkinan kombinasi dan secara sistematis akan menambahkan cairan dalam tabung g ke dalam tempat tabung cairan lain. Kemudian akan mengambil 1dan mengkombinasikannya dengan g, kemudian dengan tabung 2 dan seterusnya.


I.2 Perkembangan Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan merupakan salah satu bentuk perbuatan berpikir dan hasil dari perbuatan itu disebut keputusan. Ini berarti bahwa dengan melihat bagaimana seorang remaja mengambil suatu keputusan, maka dapat diketahui perkembangan pemikirannya. Remaja adalah masa dimana terjadi pengambilan keputusan. Dalam hal ini remaja mulai mengambil keputusan-keputusan tentang masa depan, memilih teman, mengikuti kerja, atau kuliah dan seterusnya.
Tidak jarang remaja terpaksa mengambil keputusan-keputusan yang salah karena dipengaruhi oleh orientasi masyarakat terhadap rwemaja dan kegagalannya untuk member remaja dan kegagalannya untuk memberi remaja pilihan-pilihan yang memadai. Misalnya, keputusan seorang remaja yang tinggak di daerah minus dipusat kota untuk terlibat dalam perdagangan obat-obatan terlarang walaupun berisiko tinggi mungkin bukan akibat dari kegagalan remaja untuk mempertimbangkan semua informasi yang relevan, tetapimungkin hasil pemikiran yang mengenai hal untung rugi dalam situasi yang menekan.

I.3 Perkembangan Orientasi Masa Depan
Orientasi masa depan merupakan salah satu fenomena perkembangan kognitif pada masa remaja. Remaja memiliki tugas-tugas perkembangan yang mengarah pada persiapannya memenuhi tuntutandan harapan peran sebagai orang dewasa. Remaja mulai memberikan perhatian yang besar terhadap berbagai lapanngan kehidupan yang akan dijalaninya sebagai manusia dewasa di masa yang akan dating. Diantaranya adalah lapangan pendidikan (Nurmi, 1989), disamping dunia kerja dan hidup berumah tangga (Hafighurst, 1984).
Sebagai suatu fonomena kognitif-motivasionaal yang kompleks, orientasi masa depan berkaitan erat dengan skema kognitif, yaitu suatu organisasi perceptual dari pengalaman masa lalu beserta kaitannya dengan pengalman masa kini dan dimasa yang akan dating (Chaplin, 2002). Skema kognitif memberikan suatu gambaran bagi ramaja tentang hal-hal yang dapat diantisipasi dimasa yang akan datang, baik tbagaimana indifidu itu mampu menghadapi perubahan tentag dirinya sendiri maupun tentang lingkungannya atau konteks dari berbagai aktifitas dimasa depan.
Neisser ( dalam Nurmi, 1989), menyebut skema kognitif sebagai mediator bagi masa lalu dalam mempengaruhi masa depan. Skema kognitif berisikan perkembangan sepanjang hidup yang diantisipasi, pengetahuan kontekstual, keterampilan, konsep diri, dan gaya atribusi. Dari skema tersebut, individu dapat berusaha mengantisipasi peristiwa-peristiwa di masa depan dan memberikan makna pribadi terhadap semua peristiwa tersebut, serta membentuk harapan-harapan baru yang hendak diwujudkan dalam kehidupan yang akan datang.
Menurut Nurmi (1991a), skema kognitif berinteraksi dengan tiga tahap proses pembentukan orientasi masa depan, yaitu:
1. motivation
2. planning
3. evaluation
1. Tahap motivational
Merupakan tahap awal pembentukan orientasi masa depan remaja. Tahap ini mencakup motif, minat dan tujuan yang berkaitan dengan orientasi masa depan. Menurut Nurmi (1991), perkembangan motivasi merupakan suatu proses yang kompleks, yang melibatkan subtahap, yaitu:
a. Munculnya pengetahuan baru yang relevan dengan motif umum atau penilaian individu yang menimbulkan minat yang lebih spesifik.
b. Individu mulai mengeksplorasi pengetahuanya yang berkaita dengan minat baru tersebut.
c. Menentukan tujuan spesifik.
d. Memutuskan kesiapanya untuk membuat komitmen yang berisikan tujuan tersebut.
2. Tahap planning
Dalam tahap ini remaja membuat perencanaan tentang perwujudan minat dan tujuan mereka. Menurut Nurmi (1989), perencanaan dicirikan sebagai suatu proses yang terdiri dari tiga subtahap, yaitu:
a. Penentuan subtujuan.
b. Penyusunan rencana.
c. Melaksanakan rencana dan strategi yang telah disusun.
Untuk menilai sebuah perencanaan yang dibuat oleh individu, dapat dilihat oleh tiga variable yang tercakup di dalamnya, yaitu knowledge, plans, dan realization.

3. Tahap evaluation
Menurut Nurmi (1989), evaluasi sebagai proses yang melibatkan pengamatan dan melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang ditampilkan, serta memberikan penguat bagi diri sendiri. Proses evaluasi melibatkan causal attributions, yang didasari oleh evaluasi kognitif individu mengenai kesempatan yang dimiliki dalam mengendalikan masa depanya. Dan affects, berkaia dengan kondisi-kondisi yang muncul sewaktu-waktu dan tanpa disadari. Dalam proses evaluasi ini, konsep diri memainkan peranan yang penting, terutama dalam mengevaluasi kesempatan yang ada untuk mewujudkan tujuan dan rencana sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

I.4 Perkembangan Kognisi Sosial
Adalah kemampuan untuk berfikir secara kritis mengenai isu-isu dalam hubungan interpersonal, yang berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman, serta berguna untuk memahami orang lain dan menentukan bagaimana melakukan interaksi dengan mereka( Dacey&Kenny, 1997).
Pada masa remaja muncul keterampilan-keterampilan kognitif baru yang berpengaruh terhadap perubahan-perubahan kognisi sosial yang merupakan ciri penting perkembangan remaja. Salah satu bagian penting dari perubahan perkembangan aspek kognisi sosial yaitu remaja mulai mengembangkan suatu gaya pemikiran egosentris, dimana mereka lebih mementingkan dirinya sendiri dan seolah-olah memandang dirinya dari atas. Remaja mulai berpikir dan menginterpretasikan kepribadian sebagaimana yang dilakukan oleh ahli teori dan memantau dunia sosial mereka dengan cara-cara yang unik.

I.5 Perkembangan Penalaran Moral
Moral merupakan kebutuhan penting bagi remaja terutama sebagai pedoman unuk menemukan identitas dirinya. Mengembangkan hubungan personal yang harmonis dan menghindari konflik-konflik peran yang terjadi di masa transisi. Menurut Kohlberg, moral adalah bagian dari penalaran(reasoning). Dan ia menamakanya penalaran moral penalaran/pertimbangan tersebut berkenaan dengan keluasan wawasan mengenai relasi antara diri dan orang lain, hak dan kewajiban. Relasi ini berdasarkan prinsip equality, artinya orang lain sama derajatnya dengan diri. Dan reciprocity, antara diri dan orang lain dapat dipertukarkan. Moralitas pada hakikatnya adalah penyelesaian konflik antara diri dan orang lain. Antara hak dan kewajiban(Setiono, 1994).

I.6 Perkembangan Pemahaman tentang Agama
Agama sama halnya dengan moral merupakan fenomena kognitif. Agama memberikan kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya(Adams&Gullotta,1983). Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang di dunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksitensinya.
Perkembangan pemahaman agama berada pada tahap 3, yaitu formal operational religious thought, dimana remaja memperlihatkan pemahan agama yang lebih abstrak dan hipotesis.



BAB II

II. Perkembanagn Psikososial
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa selama masa remaja terjadi perubahan-perubahan yang dramatis, baik dalam fisik maupun dalam kognitif. Perubahan-perubahan secara fisik dan kognitif tersebut, ternyata terpengaruh terhadap perubahan dalam perkembangan psikososial mereka. Dalam uraian berikut, kita akan membahas beberapa aspek perkembangan psikososial yang penting selama masa remaja ini.

II.1 Perkembangan Individuasi dan Identitas
Masing-masing kita memiliki ide tentang identitas diri sendiri. Meskipun demikian, untuk merumuskan sebuah definisi yang memedai tentang identitas itu tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan identitas masing-masing orang merupakan suatu hal yang kompleks, yang mencangkup banyak kualitas dan dimensi yang berbeda-beda, yang lebih ditentukan oleh pengalaman subjektif dari pada pengalaman objektif, serta berkembang atas dasar ekplorasi sepanjang proses kehidupan (Dusek, 1991).
Dalam psikologi, konsep identitas pada umumnya merujuk pada suatu kesadaran akan kesatuandan kesinambungan pribadi, serta keyakinan yang relatif stabil sepanjag rentang, kehidupan, sekalipun terjadi berbagai perubahan. Menurut Erikson (dalam Cremers, 1986) seseorang yang sedang mencari identitas akan berusaha “menjadi seseorang”, yang berarti berusaha menglami diri sendiri sebagai “AKU” yang bersifat sentral, mandiri, unik, yang mempunyai suatu kesadaran akan kesatuan batinnya, sekaligus jugaberarti menjadi “seseorang” yang diterima dan diakui oleh orang banyak. Lebih jauh dijelaskannya bahwa orang yang sedang mencari identitas adalah orang yang ingin menentukan “siapakah” atau “apakah” yang diinginkanya pada masa mendatang. Bila mereka telah memperoleh identitas, maka ia akanmenyadari ciri-ciri khas kepribadianny, seperti kesukaan atau ketidaksukaannya, aspirasi, tujuan masa depan yang diantisipasi, perasaan bahwa ia dapat dan harus mengatur orientasi hidupnya.
Adams dan Gullotta (1993), megambarkan tentang identitas sebai berikut:
Identity is a complex psychological phenomenon. It might be thought of as the person in personality. It includes our own interpretation of early childhood indentification with important individual in our lives. It includes a sense of direction, commitment, and trustin a personal ideal. A sense of identity integrates sex-role identification, individual ideology, accepted group norms and standards, and much more.
Dalam konteks psikologi perkembangan, pembentukukan identities merupakan tugas utama dalam perkembangan kepribadian yang diharapkan tercapai pada akhir masa remaja. Meskipun tugas pembentukanidentitas ini telah mempunyai akar-akarnya pada masa anak-anak, namun pada masa remaja ia menerima dimensifisik, kognitif dan relasinol (Grotevant & Cooper,1998). Selama masa remaja ini, kesadaran akan identitas menjadi lebih kuat, karena itu berusaha mencari identitas dan mendefinisikan kembali “siapakah” ia saat ini dan akan menjadi “siapakah” atau menjadi “apakah” ia pada masa yang akan datang. Perkembangan identitas selama masa remaja ini juga sangat penting karena ia memberikan suatu landasan bagi perkembangan psikososial dan relasi interpersonal pada masa dewasa (Jones & Hartamann. 1988).
Menurut Josselson, 1980 (dalam Seifert & Hoffnung, 1994), proses pencarian identitas – proses dimana seorang remaja mengembangkan suatu identitas personal atau sense of self yang unik, yang berbeda dan terpisah dari orang lain ini- disebut dengan individuasi (individuation). Proses ini terdiri dari empat sub tahap yang berbeda, tetapi saling melengkapi yaitu: diferensiasi, praktis dan ekspermentasi, penyesuaian, serta konsilidasi diri.

II.2 Teori Psikologi Erikson
Erikson adalah salah seorang teoritisi ternama dalam bidang perkembangan
Rentang hidup. Salah satu sumbangannya yang terbesar besar dalam psikologi perkempangan adalah psikososial tentang perkembangan. Dalam teori ini, Erikson membagi perkembangan manusia berdasarkan kualitas ego dalam delapan tahap perkembangan.
Dalam karya klasiknya yang berjudul identity: youth and crisis (1968), terlihat bahwa dari kedelapan tahap perkembangan tersebut, erikson, lebih memberi penekanan pada identitas vs. kebingunan identias (identity vs. identity confusion), yang terjadi selama masa remaja. Hal ini adalah karena tahap tersebut merupakan peralihan dari masa anak-anak kemasa dewasa. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahap ini sanagat menentukan perkembanga kepribadian masa dewasa.
Selama masa ini, remaja mulai memiliki suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, suatu perasaan bahwa ia adalah manusia yang unik. Ia mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya, seperti kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan-tujuan yang diinginkan tercapai dimasa mendatang,kekuatan dan hasrat untuk mengontrol kehidupannya sendiri. Di hadapanya terbentang banyak peran baru dan status orang dewasa.
Akan tetapi karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak dan kepekaan terhadap perubahan sosialdan historis di pihak lain, maka selama tahap pembentukan identitas ini seorang remaja mungkin merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain akibat kekacauan peranan-peranan atau kekacauan identitas (identity confusion). Kondisi demikian menyababkan remaja merasa terisolasi, hampa, cemas, dan bimbang. Merka sangat peka terhadap cara-cara orang lain memandang dirinya, dan menjadi mudah tersinggung dan merasa malau. Selama masa kekacauan identitas ini tingkah laku remaja tidak konsisten dan tidak dapat diprediksikan. Pada satu saat mungkin ia lebih tertutup terhadao siapa pun, kaena takut ditolak, atau dikecewakan. Namun pada saat lain ia mungkin ingin jadi pengikut atau pencinta, dengan tidak mempedulikan konsokuensi-kosokuensi dari komitmenya (Hall & Lindzey, 1993).
Berdasarkan kondisi demikian, maka menurut Erikson, salah satu tugas perkembangan selama masa remaja adalah menelesaikan krisis idantitas, sehingga diharapkan terbentuk suatu identitas diri yang stabil pada akhir masa remaja. Remaja yang berhasil mencapai suatu identitas diri yang stabil, akan memperoleh suatu pandangan yang jelas tantang dirinya, memahami perbedaan dan persamaanya pada orang lain, menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya, penuh percaya diri, tanggap terhadap berbagai situasi, mampu mengambil keputusan penting, mampu memgatisipasi tantangan masa depan, serta mengenal perannya dalam masyarakat (Erikson, 1989). Kegagalan dalam mengatasi krisis identitas dan mencapai suatu identitas yang reletif stabil, akan sangat membahayakan masa depan remaja. Sebab, selurur masa depan remaja sangat ditentukan oleh penyelesaian krisis tersebut.
Disamping itu, Erikson juga menyebutkan bahwa selama masa-masa sulit yang dialami remaja, ternyata ia berusaha merumuskan dan mengembangkan nilai kesetiaan (komitmen), yaitu kemampuan untuk mempertahankan loyalitas yang dikerakan dengan bebas meskipun terdapat kontradiksi-kontradiksi yang tak direlakan di antara sistem-sistem nilai. Lebih jauh dijekaskannya bahwa komitmen merupakan fondasi yang menjadi landasan terbentuknya suatu perasaan identitas yang bersifat kontinu. Substansi komitmen diperoleh melalui konfirmasi oleh idieologi-ideologi dan kebenaran-kebenaran, serta juga melalui afirmasi dari kawan-kawan. Perkembanga identitas yang berpangkal pada kebutuhan inheren manusia untuk merasa bahwa dirinya termasuk dalam kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok etnik atau kelompok agama di mana ia berpartisipasi dalam kegiatan adat istiadat, ritual-ritual atau idieologi-idieolginya (Hall & Lindzey, 1993).

II.3 Pandangan Kontemporer
Erikson adalah salah seorang teoritisi ternama dalam bidang perkembangan rentang hidup. Salah satu sumbangannya yang terbesar besar dalam psikologi perkempangan adalah psikososial tentang perkembangan. Dalam teori ini, Erikson membagi perkembangan manusia berdasarkan kualitas ego dalam delapan tahap perkembangan.
Dalam karya klasiknya yang berjudul identity: youth and crisis (1968), terlihat bahwa dari kedelapan tahap perkembangan tersebut, erikson, lebih memberi penekanan pada identitas vs. kebingunan identias (identity vs. identity confusion), yang terjadi selama masa remaja. Hal ini adalah karena tahap tersebut merupakan peralihan dari masa anak-anak kemasa dewasa. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahap ini sanagat menentukan perkembanga kepribadian masa dewasa.
Selama masa ini, remaja mulai memiliki suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, suatu perasaan bahwa ia adalah manusia yang unik. Ia mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya, seperti kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan-tujuan yang diinginkan tercapai dimasa mendatang,kekuatan dan hasrat untuk mengontrol kehidupannya sendiri. Di hadapanya terbentang banyak peran baru dan status orang dewasa.
Akan tetapi karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak dan kepekaan terhadap perubahan sosialdan historis di pihak lain, maka selama tahap pembentukan identitas ini seorang remaja mungkin merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain akibat kekacauan peranan-peranan atau kekacauan identitas (identity confusion). Kondisi demikian menyababkan remaja merasa terisolasi, hampa, cemas, dan bimbang. Merka sangat peka terhadap cara-cara orang lain memandang dirinya, dan menjadi mudah tersinggung dan merasa malau. Selama masa kekacauan identitas ini tingkah laku remaja tidak konsisten dan tidak dapat diprediksikan. Pada satu saat mungkin ia lebih tertutup terhadao siapa pun, kaena takut ditolak, atau dikecewakan. Namun pada saat lain ia mungkin ingin jadi pengikut atau pencinta, dengan tidak mempedulikan konsokuensi-kosokuensi dari komitmenya (Hall & Lindzey, 1993).
Berdasarkan kondisi demikian, maka menurut Erikson, salah satu tugas perkembangan selama masa remaja adalah menelesaikan krisis idantitas, sehingga diharapkan terbentuk suatu identitas diri yang stabil pada akhir masa remaja. Remaja yang berhasil mencapai suatu identitas diri yang stabil, akan memperoleh suatu pandangan yang jelas tantang dirinya, memahami perbedaan dan persamaanya pada orang lain, menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya, penuh percaya diri, tanggap terhadap berbagai situasi, mampu mengambil keputusan penting, mampu memgatisipasi tantangan masa depan, serta mengenal perannya dalam masyarakat (Erikson, 1989). Kegagalan dalam mengatasi krisis identitas dan mencapai suatu identitas yang reletif stabil, akan sangat membahayakan masa depan remaja. Sebab, selurur masa depan remaja sangat ditentukan oleh penyelesaian krisis tersebut.
Disamping itu, Erikson juga menyebutkan bahwa selama masa-masa sulit yang dialami remaja, ternyata ia berusaha merumuskan dan mengembangkan nilai kesetiaan (komitmen), yaitu kemampuan untuk mempertahankan loyalitas yang dikerakan dengan bebas meskipun terdapat kontradiksi-kontradiksi yang tak direlakan di antara sistem-sistem nilai. Lebih jauh dijekaskannya bahwa komitmen merupakan fondasi yang menjadi landasan terbentuknya suatu perasaan identitas yang bersifat kontinu. Substansi komitmen diperoleh melalui konfirmasi oleh idieologi-ideologi dan kebenaran-kebenaran, serta juga melalui afirmasi dari kawan-kawan. Perkembanga identitas yang berpangkal pada kebutuhan inheren manusia untuk merasa bahwa dirinya termasuk dalam kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok etnik atau kelompok agama di mana ia berpartisipasi dalam kegiatan adat istiadat, ritual-ritual atau idieologi-idieolginya (Hall & Lindzey, 1993).

II.4 Perkembangan Hubungan dengan Orangg Tua
Perubahan-perubahan fisik, kognitif dan social yang terjadi dalam perkembangan remaja mempunyai pengaruh yang besar terhadap relasi orang tua-remaja. Salah sattu cirri yang menonjol dari remaja yang mempengaruhi dari relasinya dengan orng tua adalah perjuangan untuk memperoleh otonomi, baik secara fisik dan psikologis. Karena remaja meluangkan lebih sedikit waktu dengan orang tua dari pada berinteraksi dengan dunia yang lebih luas, maka mereka berhadapan dengan bermacam-macam nilai dan ide-ide. Seiring terjadinya dengan perubahan kognitif selama masa remaja, perbedaan ide-ide yang dihadapi seiring mrndorong untuk melakukan pemeriksaan terhadap nilai-nilaidan pelajaran-pelajaran yang berasal dari orang tua. Akibatnya, remaja mulai mempertanyakan dan menentang pandangan-pandangan orang tua dan mengembangkan ide-ide mereka sendiri. Orang tua tidak lagi dipandang sebagai otoritas yang serba tahu. Secara optimal, remaja mengembangkan pandanagn-pandanagan yang lebih matang dan realistis dari orang tua mereka. Kesadaran baahwa mereka adalah orang yang memiliki kemampuan, bakat, dan pengetahuan tertentu,mereka memandang orang tua adalah orang yang harus di hormati,dan sekaligus sebagai orang yang dapat berbuat kesalahan.
Peneliti perkembangan anak remaja menyatakan bahwa pencapaian otonomi psikologis merupakan perkembangan yang penting pada masa remaja. Akan tetapi perbedaan mengenai tipe lingkungan keluarga yang lebih kondusif bagi perkembangan otonomi ini. Sejumlah teoritis dan penelitian kontemporer menyatakan bahwa otonomi yang baik berkembang dari hubungan orang tua yang positif dan suportif. Hubungan orangtua yang suportif memungkinkan untuk mengunkapkan perasaan positif dan negative, yang membantu perkembangan kompetensi social dan otonoomi yang bertanggung jawab.
Para ahli juga meyakini bahwa keterkaitan orang tua pada masa remaja dapat mmembantu kompetesi social dan kesejahtraan sosialnya, hal itu tercermin pada : harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik.
Dengan demikian keterkaitan dengan orang tua selama masa remaja dapat berfungsi adaptif, yang menyediakan landasan yang kokoh dimana remaja dapat menjelajahi dan menguasai linkungan-lingkungan baru dan suatu dunia social yang luas dengan cara-cara yang sehat secara psikologis. Keterkaitan yang kokoh dengan orang tua akan meningkatkan relasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten daan hubungan erat yang positif di luar keluarga. Keterkaitan yang kokoh dengan orang tua juga dapat menyangga dari kecemasan dan perasaan-perasaan depresi sebagai akibat dari masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa.
Begitu pentingnya factor keterkaitan yang kuat antara orang tua senantiasa harus menjaga dan mempertahankan keterkaitan ini. Untuk mempertahankan keterkaitan orang tuaa dengan anak remaja, orang tua harus membiarkan mereka bebas untuk berkembang. Dengan cara ketika remaja menuntut otonomi, maka orang tua yang bijaksana harus melepaskan kendali dalam bidang-bidang dimana remaja dapat mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal, disamping harus memberikan bimbingan untuk mengambil keputusan yang masuk akal pada bidang-bidang dimana pengetahuan anak remajanya masih terbatas.

II.5 Perembangan Hubungan Dengan Teman Sebaya
Perkembangan kehidupan sosial remaja juga ditandai dangan gejala meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan mereka. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan teman-teman sebaya mereka. Dalam suatu infestigasi, ditemukan bahwa anak berhubungan dengan teman sebaya10% dari waktu setiap hari pada umur 2tahun, 20%pada usia 4tahun, dan lebih dari 40% pada usia 7 -11 tahun (Santrock, 1998).
Berbeda halnya dengan masa anak-anak, hubungn teman sebaya Remaja lebih didasarkan pada hubungan persahabatan. Menurut Bloss (1962), pembentukan persahabatan remaja erat kaitannya dengan perubahan aspek-aspek pengendalian psikologis yang berhubungan dengan kecintaan pada diri sendiri dan munculnya phallic conflicts.
Pada prinsipnya hubungan teman sebaya mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan remaja. Dalam literature psikologi perkembangan diketahui satu contoh klasik betapa pentingnya teman sebaya dalam perkembanan social remaja. Ahli teori Jean Piaget dan Harry Stack Sullivan, menekankan bahwa melalui hubunganteman sebaya anak dan remaja belajar tentang hubungan timbale balik yang simentris.
Studi kontemporer tentang remaja, juga menunjukan bahwa hubungan yang positif dengan teman sebaya diasosiasikan dengan penyesuaian social yang positif (Santrock, 1998). Dalam studi lain ditemukan bahwa hubungan teman sebaya yang harmonis selama masa remaja, dihubungkan dengan kesehatan mental yang positif pada usia setengah baya (Hightower,1990). Kelly dan Hansen (1987) menyebutkan 6 fungsi positif dari teman sebaya, yaitu :
1. Mengotrol impulus-impulus agresif. Melalui interaksi dengan teman sebaya, remaja belajar bagaimana memecahkan pertentangan-pertentangan dengan cara-cara yang lain selain dengan tindakan agresi lansung.
2. Memperoleh dorongan emosional dan social menjadi lebih independen. Teman-teman dan kelompok teman sebaya memberikan dorongan bagi remaja untuk mengambil peran dan tanggung jawab baru mereka. Dorongan yang diperoleh remaja dari teman-teman sebaya mereka ini akan menyebabkan berkurangnya ketergantungan remaja pada dorongan keluarga mereka.
3. Meningkatkan ketrampilan-ketrampilan social, mengembanggkan kemampuan penalaran, dan belajar untuk mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara-cara yang lebih matang. Melalui percakapan dan perdebatan dengan teman sebaya, remaja belajar mengekspresikan ide-ide dan perasaan-perasaan serta mengembanggkan kemampuan mereka untuk memecahkan masalah.
4. Mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran jenis kelamin. Sikap-sikap seksual dan tingkah laku peran jeniskelamin terutama dibentuk melalui interaksi dengan teman sebaya. Remaja belajar mengenai tingkah laku dan sikap-sikap yang mereka asosiasikan dengan menjadi laki-laki dan perempuan muda.
5. Memperkuat penyesuaian moral dan nilai-nilai. Umumnya orang dewasa mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang apa yang benar dan apa yang salah. Dalam kelompok teman sebaya, remaja mencoba mengambil keputusan atas diri mereka sendiri. Remaja mengevaluasi nilai-nilai yang dimilikinya dan yang dimiliki oleh teman sebaya, serta memutuskan mana yang benar. Proses mengevaluasi ini dapat membantu remaja mengembangkan kemampuan penalaran moral mereka.
6. Meningkatkan harga diri (self-esteem). Menjadi orang yang disukai oleh sejumlah besar teman-teman sebayanya membuat remaja terasa enak atau senang tentang dirinya.

Ahli teori mengatakan pengaruh negative dari teman sebaya terhadap perkembangan anak-anak dan remaja. Bagi sebagian remaja, ditolak atau diabaikan oleh teman sebaya, menyebabkan munculnya perasaan kesepian dan permusuhan. Dismping itu, penolakan oleh teman sebaya dihubungkan dengan kesehatan mental dan problem kejahatan. Ahli teori lain menjelaaskan budaya teman sebaya remaja merupakan suatu bentuk kejahatan yang merusak nilai-nilai dan control orang tua. Lebih dari itu,teman sebaya dapat memperkenalkan remaja pada hal yang negatif, dan dipandang maladaftif (Santrock, 1998).
Meskipun selama masa remaja kelompok teman sebaya memberikan pengaruh yang besar, namun orng tuaa tetap memainkan peranan yang penting dalam kehidupan remaja. Hal ini karena antara hubungan dengan orang tua dan hubungan dengan orang sebaya memberikan pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dalam perkembangan remaja (Savin-Williams & Berndt, 1990). Dalam hal kemajuan sekolah dan rencana karir misalnya, remaja sering bercerita dengan orng tuanya. Orang tua menjadi sumber penting yang mengarahkan dan menyetujui dalam pembentukan tata nilai dan tujuan-tujuan masa depan. Sedangkan dengan teman sebaya, remaja belajar tentang hubungan-hubungan social di luar keluarga. Mereka berbicara tentang pengalaman-pengalaman dan minat-minat yang lebih bersifat pribadi. Karena masalah pribadi ini remaja umumnya lebih enak berbicara dan lebih percaya pada teman sebaya.

II.6 Perkembangan Seksualitas
Salah satu fenomena kehidupan remaja yang sangat menonjol adalah terjadinya peningkatan minat dan motifasi terhadap seksualitas.
Terjadinya peningkatan perhatiann remaja terhadap kehidupan seksual ini sangat dipengaruhi oleh factor perubahan-perubahan fisik selama pperiode pubertas. Terutama kematangan organ-organ seksual dan perubahan-perubahan hormonal, mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual dalam diri remaja. Sebagai anak muda yang belum memiliki pengalaman, tidak jarang dorongn sesual ini menimbulkan ketegangan fisik dan psikis.



II.7 Perkembangan Proaktivitas
Proaktivitas adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Stephen R. covey mengenai manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Perilakunya adalah fungsi dari keputusan sendiri, dan ia mempunyai inisiatif dan tanggung jawab untuk membuat segala sesuatu terjadi. Manusia tidak secara mekanistik merespon setiap stimulus yang datang kepadanya, tetapi antara stimulus dan respons itu terdapat kekuatan manusia yang besar, yaitu kebebasan untuk memilih.
Jadi makna pertama yang terkandung dalam pengertian proaktivitas adalah kebebasan memilih. Didalam kebebasan memilih terkandung unsure-unsur self-awareness, imajination, conscience, dan independen will.
Self-awareness ( kesadaran-diri), yaitu kemampuan untuk meliaht, memikirkan, merenungkan, dan menilai diri sendiri. Kesadaran diri tidak saja mempengaruhi sikap dan tingkah laku individu, melainkan sekaligus mempengaruhi cara pandangnya terhadap sesuatu di luar dirinya.
Imajination (imajinasi) yaitu kemampuan untuk membayangakan sesuatu melampaui realitas empiris, yang memungkunkan manusia untuk manciptakan sesuatu dalam pikirannya yang tidak di baasi oleh dunia nyata.
Conscience (kata hati), yaitu kesadaran batin yang mendalam tentang bener-salah, baik-buruk, yang diharapkan-tidak diharapkan, sebagai prinsip yang mengatur perilaku manusia sehingga ia dapat menyelaraskan pikiran, perrasaan, dan tindakannya.
Independen will (kehandak-bebas), yaitu kemampuan untuk bertindak berdasarkan kesadaran dirinya dan bebas dari segala pengaruh lain. Individu yang berkehendak bebas memilih tanggung jawab dan moral.
Makna kedua yang terkandung dalam proaktivitas adalah bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengambil inisiatif. Manusia proaktif mampu mengambil inisiatif dan memilih bertindak daripada ditindaki. Mengambil inisiatif bukan berarti mendesak, menjengkelkan, atau agresif, melainkan cermat,penuh kesadaran, dan sensitive terhadap sesuatu yang ada di sekitarnya.
Makna ke tiga yang terkandung dalam proaktivitas adalah tanggung jawab. Artinya, manusia memiliki kesadaran penuh bahwa peristiwa-peristiwa kehidupan yang dialaminya merupakan hasil dari perilakunya sendiri, yang dilakukan atas dasar keputusan yang diambilsecara sadar.
Mengamati paradigma kontemporer tentang proaktivitas. Salah stu yang dilakuakn oleh sekolah dalam mengmbangkan sikap proaktif ramaja adalah dengan melibatkan remaja secara aktif dalam prooses belajar. Teori pendidikan kontemporer memandang keterlibatan siswa aktif adalah sebagai prinsip belajar yang sangat penting.

II.8 Perkembangan Resiliensi
Resiliensi (daya lentur) merupakan sebuah istilah yang relative baru Dallam khasanah psikologi, terutama psikologi perkembangan. Paradigm resiliensi didasari oleh pandangan kontemporer yang muncul dari lapangan psikiatri, psikologi, dan sosiologi. Tentang bagaimmana anak, remaja dan orang dewasa sembuh dari kondisi stress, trauma dan resiko dalam kehidupan mereka. Ahli psikologi menyadari betapa individu yang hidup masa era modern sekarang ini semakin membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi kehidupan abad 21 yang penuh dengan perubahan-perubahan yang sangat cepat tersebut tidak jarang menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan bagi individu. Untuk menghadapi dampak-dampak tersebut, sejumlah ahli psikologi memandang perlu untuk membangun kekuatan individu.dalam hal ini, resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi bagi semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologikal seseorang. Tanpa resiliensi, tidak ada keberanian, ketekunan, tidak ada rasionalitas, tidak ada insight. Gaya berfikir seseorang sangat ditentukan oleh resiliensinya, dan resiliensi juga menentukan keberhasilan seseorang dalam hidupnya.

II.9 Sumber Pembentukan Resiliensi
Upaya mengatasi kondisi-kondisi adversity dan mengembangkan resiliency remaja, sangat tergantung pada pemberdayaan tiga factor dalam diri remaja, yang oleh Grotberg (1994) disebut sebagai tiga sumber dari resiliensi, yaitu:
1. I have (aku punya)
Merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. Sumber ini mempunyai beberapa kualitas yang memberikan sumbangan bagi pembentukan resiliensi, yaitu:
a. Hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh
b. Struktur dan peraturan dirumah
c. Model-model peran
d. Dorongan untuk mandiri
e. Akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan kesejahteraan.
2. I am (Aku ini)
Merupakan sumber yang berkaitan dengan kekuatan pribadi yang dimiliki oleh remaja, yang terdiri dari perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Beberapa kualitas pribadi yang mempengaruhi I am ini adalah:
a. Disayang dan disukai oleh banyak orang,
b. Mencintai, empati, dan kepedulian pada orang lain.
c. Bangga dengan dirinya sendiri,
d. Bertanggung jawab terhadap prilakunya sendiri dan menerima konsekuensinya,
e. Percaya diri, optimistic, dan penuh harap.
3. I can (Aku dapat)
Sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang dapat dilakukan oleh remaja sehubungan dengan keterampilan-keterampilan sosial dan interpersonal. Keterampilan itu meliputi:
a. Berkomunikasi
b. Memecahkan masalah
c. Mengelola perasaan dan impuls-impuls
d. Mengukur temperamen sendiri dan orang lain
e. Menjalian hubungan-hubungan yang saling mempercayai.

1 komentar: